AKAL DAN WAHYU
BAB I
PENDAHULUAN
Puji
syukur kepada Allah Rabb semesta alam yang telah banyak mencurahkan
rahmat dan juga serta kasih sayangnya kepada penduduk bumi sehingga
Islam masih menjadi pondasi yang kokoh dalam diri pribadi manusia.
Shalawat serta salam tak lupa kita hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW
juga beserta para sahabatnya yang istiqomah memperjuangkan Islam, semua
ini tiada lain adalah hasil dari akal dan wahyu yang selalu berdampingan
dalam memberikan petunjuk kepada manusia itu sendiri, karena pemahaman
yang baik akan melahirkan keistiqomahan, sudut pandang yang baik dan
juga ahlak yang baik. Dan dengan akal jua manusia bisa menjadi ciptaan
pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini,
begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang
sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Semua
aliran teologi dalam islam baik asy,ariyah maturidiyah apalagi
mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam perbedaan
yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan derajat dalam
kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau mu’tazilah berpendapat bahwa
akal mempunyai daya yang kuat, As’ariyah sebaliknya akal mempunyai daya
yang lemah.
Akal
dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada
sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan
budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan
juga tujuan dari baginda rasulullah SAW.
Semua
aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada
aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah,
sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang
akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam
bidang hukum Islam atau fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Wahyu[1]
1. Wahyu
baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi
Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat
penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu
mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa
mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk
umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
B. Pentingnya Akal.[2]
1. Akal
menurut pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari
mahluk lain.
2. Akal
adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan
wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber
kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau
tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada
pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
C. Kekuatan akal[3]
1. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan
berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan
pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
D. Kekuatan wahyu[4]
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
E. Akal dan Wahyu Menurut beberapa Aliran[5]
Masalah
akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang
manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan
manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada
tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban
menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran
Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat
bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang
baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal
tersebut.
Sebaliknya
aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk
serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat
diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah
Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat
bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan
mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua
hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta
kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya
dapat diketahui dengan wahyu.
Aadapun
ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan
mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah
surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185.
Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi
hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan
bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri .
dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat
Hud ayat 24.
Sementara
itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai
dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat
tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164
surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
F. Fungsi wahyu[6]
Wahyu
berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi alran kalam tradisional,
akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi
memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia
sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran
Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat
mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan
tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan
kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun
tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah
dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu
diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih
kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk,
serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima
manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional
karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini
adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh
wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak
mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya
wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang
perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu
Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu
perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman
untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu
perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan
perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari
uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah
mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa
yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui
akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi
kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik
dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu.
Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu
kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada
Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan
tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat
yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban
berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan
larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa
diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan
larangan terhadap manusia.
Jelas
bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak
sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada
manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai
akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk
mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah.
Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu
pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu
keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal
dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun
aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang
wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah
penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui
kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara
wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.[7]
Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar
adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang
mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain
yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu.
Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya
manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka
sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di
dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara
manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan
Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa
dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam
teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang
tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat
Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak
sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah
akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun maturidiyah Bukhara, mereka
semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat
tentang akal dan wahyu, dan dari penutup inilah penulis menyarankan agar
lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam presentasi kami, dan
apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi
dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian
kami ini.lalu kami dari yang meprentasikan iani dapat mnari benang merah
dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mmpunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lbih mnguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya disbanding akal.
4. Maturidiyah
Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan
dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.