Minggu, 24 Februari 2013

AKAL DAN WAHYU


BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur kepada Allah Rabb semesta alam yang telah banyak mencurahkan rahmat dan juga serta kasih sayangnya kepada penduduk bumi sehingga Islam masih menjadi pondasi yang kokoh dalam diri pribadi manusia. Shalawat serta salam tak lupa kita hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW juga beserta para sahabatnya yang istiqomah memperjuangkan Islam, semua ini tiada lain adalah hasil dari akal dan wahyu yang selalu berdampingan dalam memberikan petunjuk kepada manusia itu sendiri, karena pemahaman yang baik akan melahirkan keistiqomahan, sudut pandang yang baik dan juga ahlak yang baik. Dan dengan akal jua manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Semua aliran teologi dalam islam baik asy,ariyah maturidiyah apalagi mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan derajat dalam kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, As’ariyah sebaliknya akal mempunyai daya yang lemah.
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Wahyu[1]
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
B. Pentingnya Akal.[2]
1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
C. Kekuatan akal[3]
1. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.
D. Kekuatan wahyu[4]
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
E. Akal dan Wahyu Menurut beberapa Aliran[5]
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Aadapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.
Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
F. Fungsi wahyu[6]
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi alran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.[7] Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun maturidiyah Bukhara, mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan dari penutup inilah penulis menyarankan agar lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam presentasi kami, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini.lalu kami dari yang meprentasikan iani dapat mnari benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mmpunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lbih mnguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya disbanding akal.
4. Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.
Gambar
A. Pendahuluan
Allah SWT menganugerahkan akal (Logika, Otak, Rasio) kepada seluruh manusia adalah merupakan kelebihan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Lalu bagaimana kedudukan akal di dalam Islam?
Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu akan ditolak.
Dengan pengkultusan pada akal inilah, maka manusia menolak seruan para rasul, karena para rasul mengajak manusia untuk mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, maka terjadilah pertarungan diantara para pengikut rasul dan para penentangnya.
Para pengikut rasul mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, adapun para pengikut iblis maka mereka mendahulukan akal diatas semua wahyu!
Karena inilah kita melihat begitu banyak orang-orang awam yang pendek akalnya, sedikit ilmunya, dan lemah pandangannya terkena virus pengkultusan akal ini.
Begitu sering kita mendengar seorang yang jahil memprotes Sunnah Nabi!
Begitu sering kita mendengar seorang yang dungu menentang nash syar’i yang mutawatir!
begitu sering kita mendengar seorang yang baru belajar agama dengan lantang menolak aqidah-aqidah yang baku!
Dalam keadaan mereka ini semua menganggap diri-diri mereka pakar-pakar agama yang jempolan!!
Bahkan mereka kini dielu-elukan oleh manusia dengan sebutan-sebutan yang mentereng; Ustadz…Pemikir…Mujaddid…Filosof…Cendekiawan…dan sebutan-sebutan lain yang kosong dari hakekatnya.
B. Definisi Akal
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.
Syaikh Al Albani berkata,
Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”
Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,
akal ada dua macam yaitu : thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang”.
Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.
Hal ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
C. Pemuliaan Islam Terhadap Akal
Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :
1.      Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya(QS. Ar-Rum : ,
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Jumu’ah : 9).
2.     Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam firman Allah,
Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(QS. Al Baqarah : 170).
3.       Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu sebagaimana dalam firman Allah,
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).
4.       Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal seperti khomr, Allah berfirman,
Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan(Al Maidah, 90).
D. Ruang Lingkup Akal Dalam Islam
Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai hakekat segala sesuatu.
Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu.
Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam,
Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).
Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda,
Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.5
Allah berfirman,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85).
E. Kelompok Yang Mengedepankan Akal
Di dalam sejarah perjalanan Islam telah tumbuh pemikir-pemikir yang lebih mengedepankan akal (dalil Aqli) dibanding berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasul (Dalil Naqli),d iantara kelompok-kelompok yang mengedepankan akal diantaranya adalah yang kita sebut sebagai kelompok Rasionalis
Rasionalisme atau ‘Aqlaaniyyah adalah madzhab filsafat yang memandang segala sesuatu yang tunduk kepada kaidah-kaidah akal, bahkan makna-makna agama jika tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akal harus ditolak!!6
Maka hakekat rasionalisme adalah membuang nash syar’i yang tidak sesuai dengan pandangan akal atau hawa nafsu.7
Bapak rasionalisme yang pertama kali adalah Iblis, dia mengandalkan akalnya yang memandang bahwa api lebih mulia dari tanah sehingga menolak perintah syar’i dari Allah untuk sujud kepada Adam.
Salah satu kelompok pemikir yang lebih mengedepankan akal adalah : kelompok Mu’tazillah. Siapakah mereka ?
Kelompok Mu’tazillah adalah pioner semua kelompok rasionalis dalam Islam, mereka menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak, mereka promosikan akal setinggi-tingginya, mereka mengatakan,
Akal diciptakan dengan tujuan untuk mengetahui segala sesuatu, dia mampu mengetahui segala sesuatu yang terlihat dan yang tidak terlihat (?!)”
Mereka jadikan akal sebagai penentu kayakinan mereka di semua segi keyakinan mereka.
Karena itu mereka berbondong-bondong mempelajari filsafat Yunani, sekaligus mengikuti para filosof Yunani. Mereka jadikan dalil-dalil akal diatas dalil-dalil syar’i. Mereka dustakan hadits-hadits yang tidak sesuai dengan akal, walaupun hadits-hadits itu shahih! Mereka takwil ayat-ayat yang tidak mencocoki dengan pemikiran mereka, meskipun ayat-ayat itu sangat jelas!, bahkan mereka berusaha menyeret ibarat-ibarat dan tafsir-tafsir Al Qur’an kepada pemikiran mereka.
Kelompok Rasionalis menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mereka agungkan akal, dan mereka jadikan iman dan Al Qur’an tunduk dibawah akal.
Maka modal utama mereka adalah kaidah umum yang mereka dengung-dengungkan yaitu bahwa akal adalah landasan naql Dalil syar’i, maka mencela akal untuk membenarkan naql akan membawa pencelaan kepada akal dan naql sekaligus, dan ini adalah bathil!
Syubhat mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql wa Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya Al Allamah Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid.
Ibnul Qoyyim menyebut dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :
1.       Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah bathil karena apa yang dikhabarkan oleh Allah dan Rasulnya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq, meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifatnya adalah haq, entah akal kita mengetahui atau tidak.
2. Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akal dan naql sekaligus, karena akal telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu daripada akal. Jika hukum akal didahulukan atas wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.
3.       Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat, mukjizat mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui oleh akal. lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang oleh pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?
Bagaimana perkataan seorang Rasul ditentang oleh perkataan seorang filosof, padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti filosof, karena Rasul diutus oleh Allah dan filosof adalah Umatnya.
Syaikh Ali bin hasan Al Halaby berkata,
Jika seorang rasionalis dan pendewa akal tertimpa penyakit, maka segera dia pergi ke seorang dokter yang terpercaya, kemudian dia mengadukan kepada dokter itu keluhan dan penyakitnya, dan dia serahkan dirinya kepada dokter itu untuk ditangani dengan kepasrahan yang sempurna, walaupun dokter itu membedah tubuhnya!!
Jika dokter itu kedudukannya diruang periksa dan dia sebutkan hasil diagnosa dan resep obatnya, maka dia ambil langsung tanpa menanyakan susunan obat dan susunan kimianya!!
Jika dia disuruh dokter untuk minum obat sehari tiga kali… maka dia lakukan tanpa membantah!!
Subhanallah!! hukum-hukum dokter yang dia adalah manusia biasa bisa benar dan bisa salah dia terima tanpa perdebatan, bahkan tanpa akal!!
Sedangkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya maka dia membantahnya, membahasnya, mengeceknya, bahkan membantah dan menolaknya!! Manakah dua hukum diatas yang lebih wajib diterima secara akal!!
Agama adalah ketundukan dan kepasrahan, tanpa membantahnya dengan akal, karena akal yang sebenarnya adalah yang membawa pemiliknya untuk menerima sunnah, adapun yang membawa pemiliknya membatalkan sunnah maka dia adalah kejahilan, dan bukanlah akal.”
Ketika Abdullah bin Mughaffal menyampaikan hadits tentang larangan Rasulullah dari melontar bintang dengan pelanting, ada seorang laki-laki berkata kepadanya,”Apa masalahnya dengan pelanting ini? “, maka Abdullah bin Mughaffal berkata,
Aku sampaikan hadits Rasulullah kemudian kau katakan ini! Demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selama lamanya!”
Lihatlah bagaimana orang ini memprotes hadits dengan akalnya! Bagaimana Abdullah bin Mughaffal menyikapinya?!
Padahal orang ini memprotes hadits dengan kata-kata yang sopan, tidak sebagaimana kelancangan kaum rasionalis abad ini yang dengan kasarnya menolak setiap hadits yang tidak masuk akalnya!!
Kita katakan kepada seluruh kaum rasionalis pendewa akal selama mereka masih mengaku muslim :
Apa logikanya sholat maghrib tiga raka’at, sedangkan sholat isya’ empat raka’at, padahal keduanya sama-sama dilaksanakan pada malam hari?! Apa logikanya perpindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram?! Kenapa Thawaf harus ke Ka’bah?! Kenapa Thawaf harus tujuh putaran?!”
Kami katakan tidak ada jalan bagi akal dalam hal-hal seperti ini kecuali mengimani dan melaksanakannya dengan keimanan yang sempurna, dan kepasrahan yang mutlak sebagaimana dalam firman Allah,
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. Al Ahzab : 36).
Maka para sahabat tidak pernah sekalipun mempermasalahkan nash-nash dengan akalnya padahal mereka manusia-manusia terbaik umat ini yang paling sempurna akalnya.
Para sahabat begitu sangat kepasrahannya kepada Sunnah, walaupun akal mereka belum bisa menerima, bahkan mereka begitu keras pengingkarannya kepada siapa saja yang menolak Sunnah.
Nash-nash yang datang dari Rasulullah lebih agung di hati-hati mereka dari membantahnya dengan sebab perkataan siapapun dari manusia.
F. Penutup
Pemisah antara Ahli Sunnah dan Ahlil Bid’ah adalah dalam masalah akal: Ahlil Bid’ah menjadikan landasan agamanya adalah akal dan mereka jadikan Ittiba’dan atsar sebagai pengikut akal.
Adapun Ahli Sunnah mengatakan bahwa landasan agama adalah Ittiba’ sedangkan akal sebagai pengikutnya. Seandainya agama didasarkan pada akal, maka sungguh para makhluk tidak butuh kepada wahyu, tidak butuh kepada para nabi, hilanglah makna perintah dan larangan, dan setiap orang akan mengatakan apa yang dia mau.
Jika kita mendengar sesuatu dari perkara-perkara agama, kemudian kita bisa memahaminya dengan akal kita, maka kita bersyukur kepada Allah atas Taufiq-Nya. Jika akal kita belum sampai kepadanya, maka kita beriman dan membenarkannya.
Maka kita memohon taufiq dan keteguhan kepada Allah, semoga Allah mewafatkan kita diatas agama Rasulullah yang lurus dengan anugerah dan kemurahan-Nya.



Rasulallah dan Para Nabi

ألأفضلية :
أفضل الخلق على الإطلاق نبينا محمد صلى الله عليه وآله وسلم لقوله عليه الصلاة و السلام : ” أنا أكرم الأولين و الآخرين على الله ولا فخر ” ، ثم يليه أولو العزم من الرسل ، ثم بقية الرسل ، ثم بقية الأنبياء ، ثم بقية من البشر أفضلهم الخلفاء الأربعة: أبو بكر و عمر و عثمان و علي ، ثم بقية العشرة المبشرين بالجنة وهم طلحة بن عبيد الله ، و الزبير بن العوام ، و عبد الرحمن بن عوف ، و سعد بن أبي وقاص ، سعد بن زبير ، و أبو عبيدة عامر بن الجراح ، ثم أهل البدر ( وهم 317 رجلا ) ، ثم أهل أحد ( وهم 700 رجلا ) ، ثم أهل بيعة الرضوان ، ثم بقية الصحابة رضوان الله عليهم أجمعين .

MANUSIA TERMULIA
Manusia paling mulia adalah Nabi kita Muhammad saw, kemudian para nabi dan rasul yang mendapat gelar Ulul ’Azmi, kemudian para rasul dan nabi lainya, kemudian Khulafa Ar-Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra, kemudian 10 sahabat Nabi saw yang dijamin masuk surga, kemudian Ahlul Badr yaitu para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar, kemudian Ahlu Uhud yaitu para sahabat yang ikut serta dalam perang Uhud, kemudian Ahlu Bai’at Ridhwan yaitu para sahabat yang ikut serta pada bai’at Ridhwan, kemudian para sahabat lainya ra.
RASULALLAH SAW
Nabi Muhammad saw adalah manusia termulia dan terpuji. Dalam hadistnya beliau bersabda ”Aku adalah manusia pertama dan terakhir paling mulia, dan aku tidak berbangga diri”. Adapun mengenai peribadi Nabi saw telah diterangkan dalam pelajaran sebelumnya. (Lihat peribadi Nabi saw)  
ULUL ’AZMI
Ulil ’Azmi adalah manusia manusia mulia dan dimuliakan Allah setelah Rasulallah saw. Mereka adalah para nabi yang telah diberi gelar Ulul ’Azmi oleh Allah. Ulu al-‘Azmi adalah gelar yang diberikan kepada lima rasul yang memiliki martabat sangat istimewa karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dalam menyapaikan risalah. Dari beberpa rasul dan nabi yang diutus Allah hanya lima rasul yang mendapatkan julukan ini yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad as. Gelar ini adalah gelar istimewa bagi mereka (Lihat ringkasan sejarah para nabi dalam pelajarang sebelumnya).
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
”Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (al-Ahqaaf, 35)
Ada beberapa poin yang menyebabkan Allah telah memberikan gelar ulul al-’Azmi kepada lima rasul diantaranya: mereka memiliki kesabaran yang luar biasa dalam berdakwah. Mereka tidak pernah memohon kepada Allah agar menurunkan azab kepada kaumnya. Atau dalam istilah lain mereka menerima segala macam aniaya dan kesulitan dengan rela dan penuh kesabaran, bahkan mereka selalu mendoakan kaum mereka agar Allah memberikan hidayah atau petunjuk ke jalan yang lurus.
PARA RASUL DAN NABI
Kemudian setelah itu para rasul dan nabi, mereka manusia manusai mulia dan dimuliakan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijaga Allah dari perbuatan yang dapat mendatangkan dosa. Para nabi dan Rasul adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Allah telah menjaga para nabi dan rasul dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sejak mereka masih kecil, begitu pula setelah diangkat menjadi nabi dan rasul.
Telah diyakini bahwa para nabi dan rasul yang diutus Allah, mereka adalah laki laki merdeka yang telah dipilih dengan sempurna dan dilengkapi dengan keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk biasa

Ilmu Tauhid

الدرس الأول في المقدمة : التوحيد لغة جعل الشيئ واحد و اصتلاحا هو علم يبحث فيه عن إثباب العقائد الدينية المكتسب من أدلتها اليقينية . ثمره : معرفة الله سبحانه و تعالى بالبراهين القطعية وإثباب ما يجب له من صفات الكمال و تنزيهه عن سمات النقص و التصديق برسله عليهم الصلاة والسلام . موضوعه : ذات الله تعالى و ذات رسله من حيث ما يجب و ما يستحيل و ما يجوز و الممكن من حيث أنه يستدل به على وجود صانعه و السمعيات من حيث اعتقادها . واضعه : أول من دون علم التوحيد و رتبه و ألف فيه الإمامان : أبو الحسن الأشعري و متابعوه وأبو منصور الماتوريدي ومتابعوه . حكمه : حكم الشارع فيه الوجوب العيني على كل مكلف  ذكرا و أنثى و لو بالدليل الإجمالي

 

PELAJARAN PERTAMA: ILMU TAUHID 
SYARAH:
Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.
Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.
Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya.
Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh)
Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian:
1. Wajib
2. Mustahil
3. Jaiz (Mungkin)

1- WAJIB
Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib atau tidak boleh tidak harus demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih tua dari si anak
Ada lagi hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu bulat.  Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih dahulu. Contoh lainnya, sebelum akal menghukum dan menentukan bahwa ”Allah wajib atau harus ada”, maka harus diadakan dahulu penyelidikan yang rapi yang menunjukkan kewujudan atau keberadaan bahwa Allah itu wajib ada. Tentu hal ini perlu dibantu dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al Quran.
2- MUSTAHIL
Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum bahwa sesuatu itu harus demikian.
Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil. Contohnya , uang 500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan lebih banyak dari1000 rupiah. Contoh lainnya,  usia seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya.
Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat. Contoh lainnya: Mustahil Allah boleh mati. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil Allah boleh mati atau dibunuh, maka perkara tersebut hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan bersenderkan kepada dalil yang kuat.
3- JAIZ (MUNGKIN):
Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak. Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan hujjah atau dalil.
Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin).
Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil yang kuat diambil dari al-Qur’an..
Contoh lainnya: rumah seseorang dari di satu tempat mungkin bisa berpindah dengan sekejap mata ke tempat yang lain yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat asalnya seperti terjadi dalam kisah nabi Sulaiman as telah memindahkan istana Ratu Balqis dari Yaman ke negara Palestina yang jaraknya ribuan kilo meter. Kisah ini sudah barang tentu memerlukan dalil yang diambil dari al-Qu’ran.
Pengertian Tauhid
Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.

Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.
Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh)

Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian:
1. Wajib
2. Mustahil
3. Jaiz (Mungkin)

. 1- WAJIB
Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib (mutlak) atau tidak boleh tidak harus demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih tua dari si anak
Ada lagi hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu bulat.  Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih dahulu.
.
2- MUSTAHIL
Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum bahwa sesuatu itu harus demikian.
Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contohnya , uang 500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan lebih banyak dari1000 rupiah. Contoh lainnya,  usia seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya.
Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat.

.
3- JAIZ (MUNGKIN):
Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak. Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan hujjah atau dalil.
Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin).
Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil yang kuat diambil dari al-Qur’an.
.
SIFAT SIFAT ALLAH
Wajib bagi setiap muslim mukallaf yaitu yang memiliki akal yang sehat dan sudah masuk dewasa mempercayai bahwa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah. Sifat sifat Allah itu banyak sekali dan tidak terhitung. Seandainya air laut dijadikan tinta untuk untuk menulis sifat sifat Allah tentu kita tidak akan mampu mencatatnya. Maka dari itu Abu Manshur Al-Maturidi membatasi 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Allah.
Jadi, minimal kita harus memahami dan meyakini 20 sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya yang banyak. Sebagaimana wajib dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh maka perlu juga diketahui juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan lawan dari sifat wajib.
20 Sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh seorang muslim mukallaf (akil baligh) yang terkandung di dalam al-Quran termasuk juga sifat-sifat Mustahil yang wajib diketahui. Untuk mempermudah mempelajarinya terlampir dibawah ini ringkasan sifat sifat Allah yang wajib dan mustahil.
Sifat-sifat itu adalah:
1- WUJUD

Wujud (ada) adalah sifat Nafsiyyah artinya sesungguhnya Allah itu ada dan keberadaan Nya itu pasti tidak diragukan lagi. Sifat ini juga menegaskan di mana Allah menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut.
Wujud artinya ada dan sifat mustahilnya ‘Adam artinya tidak ada. Untuk membuktikan bahwa Allah itu ada bukan hal yang mudah, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan yang luhur. Memang kita tidak dapat melihat wujud Allah secara langsung, tetapi dengan menggunakan akal, kita dapat menyaksikan ciptaan-Nya. Dari mana alam semesta ini berasal? Pastilah ada yang menciptakannya. Tidak mungkin alam semesta ini jadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Contoh, pernah seorang Badui (Arab dari pegunungan) ditanya, ”Dari mana kau mengetahui bahwa Allah itu ada?”. Kebetulan di muka orang Badui tadi ada kotoran unta. Ia menjawab ”Apakah kau lihat kotoran unta ini? Setiap ada kotoran unta pasti ada untanya. Tidak mungkin kotoran unta itu berada dengan sendirinya”
Sedangkan untuk kita yang hidup di abad serba canggih dan modern cara membuktikannya pula berbeda. Tentu kita melihat pesawat terbang, kereta api, mobil, komputer dan lain-lainnya, sesuatu yang tidak masuk akal jika semua itu terjadi dengan sendirinya. Ya sudah pasti ada pembuatnya. Bahkan sampai benda-benda yang sederhana saja seperti jarum ada yang membuatnya, tidak mungkin jarum itu jadi dengan sendirinya.
Walaupun kita tidak bisa melihat Allah, bukan berarti Allah itu tidak ada. Allah ada. Mesikpun kita tidak bisa melihat-Nya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya. Pernyataan bahwa Allah itu tidak ada hanya karena panca indera manusia yang sangat terbatas, karena Dia tidak bisa diraba dan tidak bisa dilihat, makanya kita tidak bisa mengetahui keberadaan Allah kecuali dengan bukti bukti ciptaan Nya
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَمَاوَاتِ وَٱلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِي ٱلْلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلأَمْرُ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَالَمِينَ
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.(Al-A’râf: 54).
.
2- QIDAM
– القدم : هو صفة سلبية لأنها سلبت و نفت أولية الوجود ، و معناه في حقه سبحانه و تعالى انه قديم لا أول لوجوده قال الله تعالى : { هُوَ ٱلأَوَّلُ وَٱلآخِرُ وَٱلظَّاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ } والدليل العقلي على ذلك انه لو لم يكن قديما لكان حادثا و لو كان حادثا لافتقر الى محدث و يفتقر محدثه الى محدث ايضا و لوكان كذلك للزم الدور أو التسلسل و كل واحد منهما مستحيل فالله سبحانه و تعالى قديم لا أول لوجوده و يستحيل عليه الحدوث
Allah itu berada tanpa adanya permulaan. Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Allah pasti lebih dahulu sebelum ciptaan-Nya. Kebalikannya adalah huduts (Baru) yaitu mustahil Allah itu baru dan memiliki permulaan. Allah itu dahulu tanpa awal, tidak berasal dari ”tidak ada” kemudian menjadi ”ada”.
هُوَ ٱلأَوَّلُ وَٱلآخِرُ وَٱلظَّاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah berfirman: “ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al Hadiid:3)
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia. Allah adalah awal. Dia sudah berada sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Allah itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada.
Hikmah & Atsar:
Seorang Atheist (kafir) datang kepada Imam Abu Hanifah lalu bertanya: “Tahun berapa Allah itu berada?
Abu Hanifah menjawab: “Allah berada sebelum adanya tahun, tidak berawal dalam wujud-Nya.”
Orang kafir itu bertanya lagi: “Berikan kepada kami contoh” 
Beliau menjawab: “Angka berapa sebelum empat?
Ia berkata: “Tiga”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum tiga?”
Ia menjawab: “Dua”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum dua?”
Ia memjawab: “Satu”
Abu Hanifah betanya lagi: “Angka berapa sebelum satu?”
Ia berkata: “Tidak ada sesuatu sebelum angka satu”
Lalu Abu Hanifah berkata: “Kalau tidak ada sesuatu sebelum satu. Maka Allah itu esa tidak ada yg mengawali dalam wujudnya.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi pertanyaan kedua: “Kemana Allah itu berpaling?”
Abu Hanifah menjawab: “Kalau anda menyalahkan pelita di tempat yang gelap, kemana cahaya pelita itu berpaling?
Ia menjawab: “Ke setiap penjuru”
Abu Hanifah berkata: “Kalau cahaya pelita berpaling ke setiap penjur, bagaimana halnya dengan cahaya Allah, pencipta langit dan bumi.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi dengan pertanyaan ketiga: “Terangkan kepada kami tentang dzat Allah. Apakah Ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau Ia berupa gas?”
Abu Hanifah menjawab: “Apakah anda pernah duduk di muka orang yang sedang sakarat?”
Ia menjawab: “Pernah”
Abu Hanifah bertanya: “Apakah ia bisa bercakap setelah mati?”
Ia menjawab: “Tidak bisa”
Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah ia bisa berbicara sebelum mati?” 
Ia menjawab: “Bisa”
Lalu abu Hanifah bertanya lagi: “Apa yang bisa merobahnya sehingga ia mati?”
Ia menjawab: “Keluarnya ruh dari jasadnya” 
Abu Hanifah mejelaskan: “Oh kalau begitu keluarnya ruh dari jasadnya membuatnya ia tidak bisa berbicara?
Ia menjawab: “Betul”
Abu Hanifah bertanya: “Sekarang, terangkan kepada saya bagaimana sifatya ruh, apakah ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau ia seperti gas?
Ia menjawab: “Kami tidak tahu sama sekali”
Abu Hanifah menjawab: “Jika ruh sebagai makhluk kamu tidak bisa mensifatkanya, bagaimana kamu ingin aku mensifatkan kepada kamu zdatnya Allah.
. 3- BAQA’
- البقاء : صفة سلبية لأنها سلبت و نفت الفناء و معناه عدم الآخرية للوجود و معناه في حقه تعالى أنه موجود وجودا مستمرا لا آخر له ، قال الله تعالى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ } و الديل العقلي على ذلك انه لو لم يكن باقيا لجاز عليه العدم و لو جاز عليه العدم لكان حادثا و كونه حادثا محال لأنه قديم و ما ثبت قدمه استحال عدمه فيستحيل عليه ضده و هو الفناء
Baqa’ (kekal) adalah sifat Salbiyah artinya sifat yang mencabut atau menolak adanya kebinasaan wujud Allah. Dalam arti lain bahwa keberadaan Allah itu kekal, berlanjut tidak binasa atau rusak.
Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur alam semesta. Dia selalu ada selama-lamanya dan tidak akan binasa untuk mengatur ciptaan-Nya itu. Hanya kepada-Nya seluruh kehidupan ini akan kembali. Firman Allah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
”Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (al-Qashash: 88).
Adapun sifat mustahilnya Fana, artinya rusak. Semua makhluk yang ada di alam semesta ini, baik itu manusia, binatang, tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dll, suatu saat akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Manusia, betapa pun gagahnya, suatu saat pasti mati. Setiap orang pasti akan mati dan hancur dimakan tanah. Hukum kehancuran berlaku hanya bagi manusia, benda dan meteri. Sedangkan Allah bukan manusia, benda atau materi. Dia adalah Dzat yang  tidak terkena hukum kehancuran atau kerusakan. Dia kekal abadi untuk selama lamanya, tidak bisa wafat atau dibunuh. Jika ada Allah yang bisa wafat atau dibunuh, maka itu bukan Allah tapi manusia biasa.
Sungguh, betapa hina dan lemahnya manusia ini di hadapan Allah. Makanya tidak pantas jika ia berbangga diri atau sombong dengan kehebatannya, karena segala kehebatan itu pada akhirnya akan berlalu, yang tersisa hanyalah amal kebaikan.
.

Jumat, 22 Februari 2013

Bagaimana Cara Menghadapi Masalah Yang Membuat Kita Kehilangan Motivasi?

Cara Menghadapi Masalah Yang Meruntuhkan Semangat
Kadang, kita dihadapkan terhadap sebuah masalah yang membuat kita kehilangan motivasi atau semangat. Yang lebih parah adalah saat kita menjadi pesimis dan menyerah. Yang ada tinggal keluhan, umpatan, dan hujatan yang bukan saja tidak menyelesaikan masalah, malah memperburuknya.
Hal ini bisa terjadi baik pada diri sendiri maupun pada situasi yang lebih besar. Negara kita pun banyak masalah, mulai dari korupsi, kejahatan, masalah moral, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketidak merataan, dan sebagainya. Banyak rakyat yang sudah mulai pesimis, mereka apatis, dan tidak lagi peduli untuk memperbaiki bangsa.
Begitu juga untuk masalah pribadi, masalah keluarga, dan masalah perusahaan. Jika kita salah menyikapinya, bisa jadi kita akan kehilangan semangat dan menyerah.
Untuk itulah kita perlu memahami bagaimana cara menghadapi masalah yang benar. Kita tidak akan membahas masalah satu persatu, sebab ruang tidak akan cukup karena masalah setiap orang akan berbeda. Dan perlu kita pahami adalah bukan masalah apa yang menimpa kita, yang terpenting adalah bagaimana cara menghadapi masalah itu dengan benar.

Cara Menghadapi Masalah Yang Pertama adalah Optimis

Sekecil apa pun masalah, saat kita sudah kehilangan optimisme atau menjadi pesimis akan menjadikan diri kita menyerah. Kita harus pancangkan dalam diri kita, bahwa harapan itu masih ada dan kita tidak boleh menyerah. Saya sudah berkali-kali membuat artikel tentang hal ini, diantaranya:
Memiliki optimis adalah langkah pertama untuk membuka peluang menghadapi masalah Anda. Jika harapan sudah terkubur, maka Anda tidak akan pernah bisa menghadapi masalah. Pesimisme merusak semuanya, oleh karena itu jangan pesimis. Optimislah Anda akan mampu menghadapi masalah, Harapan itu masih ada.
Silahkan baca artikel ini jika Anda merasa pesimis.
Yakinlah bahwa solusi itu ada, Anda hanya belum menemukannya.

Jangan Lebay: Membesar-besarkan Masalah

Masalah terbesar dari sebuah masalah sebenarnya bagaimana Anda menyikapinya, bukan pada masalahnya. Suka ada orang yang bertanya atau konsultasi bagaimana cara menghadapi masalahnya. Namun apa pun nasihatnya dia selalu membantah bahwa masalahnya itu terlalu besar jika dibandingkan dengan nasihat yang diberikan. Lebay akan menutup semua cara menghadapi masalah.
Khawatirnya, jika bersikap seperti itu, dia hanya mencari pembenaran akan ketidakmampuan dia. Dia menyerah dan mencari “maklum”, bukan mencari solusi. Kemungkinan kedua, dia tidak ingin menyelesaikan masalahnya, tapi dia ingin diselesaikan oleh orang lain. Ini cara menyikapi yang salah.
Sikap lebay kedua adalah, seringkali kita menyerah hanya karena sebagian dari satu sistem bermasalah. Ibaratnya karena ada kotoran disebuah rumah, mereka lebih memilih meninggalkan rumah itu. Padahal, hanya dengan membersihkan kotoran itu, rumah bisa ditempati kembali.
Contoh nyata dalam bisnis, jika ada satu masalah dalam bagian bisnis itu, maka perbaikilah atau carilah solusinya. Tidak usah meninggalkan bisnis itu, menyerah, dan tidak semangat lagi. Kita bisa membuang peluang yang lebih besar hanya karena ada masalah dalam bisnis itu.
Dalam kehidupan lebih umum juga sama, seringkali kita sudah punya paradigma negatif terhadap pemerintah, parlemen, atau partai karena ada oknum-oknum yang korup. Akhirnya banyak masyarakat yang skeptis, menganggap semua sama, semua bejat, semua korup, atau semua tanpa harapan. Betulkah semua? Ini lebay namanya.
Begitu juga dalam kehidupan keluarga. Pasti, pasangan kita akan memiliki kekurangan dan menjadi masalah bagi kita. Namun haruskah karena masalah itu kehidupan rumah tangga menjadi tidak baik, bertengkar terus, bahkan sampai cerai? Istri saya itu banyak kekurangan (namanya juga manusia), tapi kebaikannya jauh lebih banyak. Sungguh lebay, jika kita hanya mempermasalahkan kekurangannya, padahal kebaikannya sangat banyak.
Jadi, cara menghadapi masalah itu: berpikirlah lebih proporsional, apa masalahnya, dan perbaikilah atau atasi. Silahkan baca artikel saya tentang jangan bersikap lebay: Laa Tusrifuu, Jangan Lebay!

Gunakan Pikiran Anda

Langkah ketiga cara menghadapi masalah adalah gunakan pikiran Anda. Semua juga tau! Nanti dulu, pada kenyataanya banyak orang yang lebih memilih emosi dibandingkan dengan pikiran. Jika kita menggunakan emosi, kita tidak bisa berpikir dengan jernih, sehingga tidak bisa menemukan solusi atas masalah kita. Emosi seringkali hanya menuntun kita ke solusi instan, yang penting cepat selesai.
Sering kali, masalah itu membutuhkan waktu untuk diselesaikan, bahkan bisa bertahun-tahun. Ini akan menjadi tantangan emosional yang mengarahkan kita untuk mencaro solusi instan karena ketidak sabaran dan kemalasan kita. Padahal, jika kita berpikir jernih, masalah tersebut memang membutuhkan waktu.
Saya sudah menulis artikel bagaimana Teknik Berpikir Jernih silah dibaca.
Yang kedua, menggunakan pikiran artinya berpikirlah dengan kreatif. Temukan ide-ide yang mungkin Anda menjadi solusi. Seringkali orang bingung, seolah tidak ada solusi, padahal dia sendiri yang kurang kreatif menemukan solusi. Dia hanya punya satu atau dua solusi, saat solusi tersebut tidak berhasil, mereka merasa buntu.
Benarkan solusi itu hanya itu? Disinilah pentingnya memiliki keterampilan berpikir kreatif, agar Anda siap menghadapi masalah. Berpikir kreatif adalah cara menghadapi masalah terbaik. Sayangnya masih banyak yang merasa kreativitas itu tidak perlu. Silahkan miliki panduannya agar Anda bisa berpikir kreatif disini.

Mintalah Pertolongan Allah

Tidak ada yang bisa menghambat kita, jika Allah sudah mengijinkan. Tidak ada masalah yang tidak bisa dihilangkan jika Allah berkehendak. Jadi, mintalah pertolongan Allah. Ini bukan pelengkap, tetapi justru hal yang utama yang harus kita lakukan. Sesungguhnya Kekuatan Itu Dari Allah tidak ada yang bisa menghalangi atau menghentikan jika Allah sudah berkehendak.
Bagaimana cara mendapatkan pertolongan Allah? Banyak sekali, diantaranya shabar dan shalat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat Al Qur’an Al Karim
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al Baqarah:45-46)
Inilah cara menghadapi masalah, insya Allah Anda akan sanggup menghadapinya.