A. Pendahuluan
Allah
SWT menganugerahkan akal (Logika, Otak, Rasio) kepada seluruh manusia
adalah merupakan kelebihan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya
yang lain. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang
dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Tetapi segala yang dimiliki
manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada
pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Lalu bagaimana kedudukan akal di
dalam Islam?
Pengkultusan
kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal
dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak
dipahami oleh akal, maka syari’at itu akan ditolak.
Dengan
pengkultusan pada akal inilah, maka manusia menolak seruan para rasul,
karena para rasul mengajak manusia untuk mendahulukan wahyu diatas semua
akal dan pemikiran, maka terjadilah pertarungan diantara para pengikut
rasul dan para penentangnya.
Para
pengikut rasul mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran,
adapun para pengikut iblis maka mereka mendahulukan akal diatas semua
wahyu!
Karena
inilah kita melihat begitu banyak orang-orang awam yang pendek akalnya,
sedikit ilmunya, dan lemah pandangannya terkena virus pengkultusan akal
ini.
Begitu sering kita mendengar seorang yang jahil memprotes Sunnah Nabi!
Begitu sering kita mendengar seorang yang dungu menentang nash syar’i yang mutawatir!
begitu sering kita mendengar seorang yang baru belajar agama dengan lantang menolak aqidah-aqidah yang baku!
Dalam keadaan mereka ini semua menganggap diri-diri mereka pakar-pakar agama yang jempolan!!
Bahkan
mereka kini dielu-elukan oleh manusia dengan sebutan-sebutan yang
mentereng; Ustadz…Pemikir…Mujaddid…Filosof…Cendekiawan…dan
sebutan-sebutan lain yang kosong dari hakekatnya.
B. Definisi Akal
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Kata
akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata
melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak
pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati
untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang
mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal
dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.”
Syaikh Al Albani berkata,
“Akal
menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang
dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin
bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali
jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan
pemahaman salaf.”
Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,
”akal
ada dua macam yaitu : thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang
datang bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu,
makan, tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang”.
Kemudian
seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga
usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu
berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah
akal yang diusahakan.
Adapun
ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah
batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada
tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan
akal jika sudah sampai puncaknya.
Hal
ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya
agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan
ilmu.
C. Pemuliaan Islam Terhadap Akal
Islam
sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan
perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :
1. Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,
“Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan
sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan
pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : ,
“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada
hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Jumu’ah : 9).
2. Islam
melarang manusia untuk taklid buta kepada adat istiadat dan
pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam firman Allah,
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui
sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(QS. Al Baqarah : 170).
3. Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu sebagaimana dalam firman Allah,
”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).
4.
Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga akalnya, dan
melarang dari segala hal yang dapat merusak akal seperti khomr, Allah
berfirman,
“Hai,
orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah, 90).
D. Ruang Lingkup Akal Dalam Islam
Meskipun
islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak
menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang
lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas
jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai hakekat segala sesuatu.
Maka
Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i
walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu.
Kemaksiatan
yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak
perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya
yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan
membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam,
“Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).
Karena
inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar
jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan
yang semacamnya, Rasulullah bersabda,
”Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.5
Allah berfirman,
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85).
E. Kelompok Yang Mengedepankan Akal
Di
dalam sejarah perjalanan Islam telah tumbuh pemikir-pemikir yang lebih
mengedepankan akal (dalil Aqli) dibanding berpegang pada Kitabullah dan
Sunnah Rasul (Dalil Naqli),d iantara kelompok-kelompok yang
mengedepankan akal diantaranya adalah yang kita sebut sebagai kelompok Rasionalis
Rasionalisme
atau ‘Aqlaaniyyah adalah madzhab filsafat yang memandang segala sesuatu
yang tunduk kepada kaidah-kaidah akal, bahkan makna-makna agama jika
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akal harus ditolak!!6
Maka hakekat rasionalisme adalah membuang nash syar’i yang tidak sesuai dengan pandangan akal atau hawa nafsu.7
Bapak
rasionalisme yang pertama kali adalah Iblis, dia mengandalkan akalnya
yang memandang bahwa api lebih mulia dari tanah sehingga menolak
perintah syar’i dari Allah untuk sujud kepada Adam.
Salah satu kelompok pemikir yang lebih mengedepankan akal adalah : kelompok Mu’tazillah. Siapakah mereka ?
Kelompok Mu’tazillah adalah pioner semua kelompok rasionalis dalam Islam, mereka menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak, mereka promosikan akal setinggi-tingginya, mereka mengatakan,
“Akal
diciptakan dengan tujuan untuk mengetahui segala sesuatu, dia mampu
mengetahui segala sesuatu yang terlihat dan yang tidak terlihat (?!)”
Mereka jadikan akal sebagai penentu kayakinan mereka di semua segi keyakinan mereka.
Karena
itu mereka berbondong-bondong mempelajari filsafat Yunani, sekaligus
mengikuti para filosof Yunani. Mereka jadikan dalil-dalil akal diatas
dalil-dalil syar’i. Mereka dustakan hadits-hadits yang tidak sesuai
dengan akal, walaupun hadits-hadits itu shahih! Mereka takwil ayat-ayat
yang tidak mencocoki dengan pemikiran mereka, meskipun ayat-ayat itu
sangat jelas!, bahkan mereka berusaha menyeret ibarat-ibarat dan
tafsir-tafsir Al Qur’an kepada pemikiran mereka.
Kelompok
Rasionalis menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mereka
agungkan akal, dan mereka jadikan iman dan Al Qur’an tunduk dibawah akal.
Maka
modal utama mereka adalah kaidah umum yang mereka dengung-dengungkan
yaitu bahwa akal adalah landasan naql Dalil syar’i, maka mencela akal
untuk membenarkan naql akan membawa pencelaan kepada akal dan naql
sekaligus, dan ini adalah bathil!
Syubhat
mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql wa Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya Al Allamah Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid.
Ibnul Qoyyim menyebut dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :
1.
Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah bathil karena
apa yang dikhabarkan oleh Allah dan Rasulnya adalah shahih dari dirinya,
entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah
dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana
Rasulullah adalah haq, meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana
wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifatnya adalah haq,
entah akal kita mengetahui atau tidak.
2.
Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akal dan naql sekaligus,
karena akal telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu daripada akal. Jika
hukum akal didahulukan atas wahyu maka itu adalah cela pada persaksian
akal, jika persaksiannya batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka
mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.
3.
Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya,
dengan membawa ayat-ayat, mukjizat mukjizat, dan bukti-bukti atas
kebenarannya, hal ini diakui oleh akal. lalu bagaimana perkataan Allah
pencipta semesta alam ditentang oleh pemikiran-pemikiran Plato,
Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?
Bagaimana
perkataan seorang Rasul ditentang oleh perkataan seorang filosof,
padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti
filosof, karena Rasul diutus oleh Allah dan filosof adalah Umatnya.
Syaikh Ali bin hasan Al Halaby berkata,
”Jika
seorang rasionalis dan pendewa akal tertimpa penyakit, maka segera dia
pergi ke seorang dokter yang terpercaya, kemudian dia mengadukan kepada
dokter itu keluhan dan penyakitnya, dan dia serahkan dirinya kepada
dokter itu untuk ditangani dengan kepasrahan yang sempurna, walaupun
dokter itu membedah tubuhnya!!
Jika
dokter itu kedudukannya diruang periksa dan dia sebutkan hasil diagnosa
dan resep obatnya, maka dia ambil langsung tanpa menanyakan susunan
obat dan susunan kimianya!!
Jika dia disuruh dokter untuk minum obat sehari tiga kali… maka dia lakukan tanpa membantah!!
… Subhanallah!! hukum-hukum dokter yang dia adalah manusia biasa bisa benar dan bisa salah dia terima tanpa perdebatan, bahkan tanpa akal!!
Sedangkan
hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya maka dia
membantahnya, membahasnya, mengeceknya, bahkan membantah dan
menolaknya!! Manakah dua hukum diatas yang lebih wajib diterima secara
akal!!
“Agama
adalah ketundukan dan kepasrahan, tanpa membantahnya dengan akal,
karena akal yang sebenarnya adalah yang membawa pemiliknya untuk
menerima sunnah, adapun yang membawa pemiliknya membatalkan sunnah maka
dia adalah kejahilan, dan bukanlah akal.”
Ketika
Abdullah bin Mughaffal menyampaikan hadits tentang larangan Rasulullah
dari melontar bintang dengan pelanting, ada seorang laki-laki berkata
kepadanya,”Apa masalahnya dengan pelanting ini? “, maka Abdullah bin
Mughaffal berkata,
”Aku sampaikan hadits Rasulullah kemudian kau katakan ini! Demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selama lamanya!”
Lihatlah bagaimana orang ini memprotes hadits dengan akalnya! Bagaimana Abdullah bin Mughaffal menyikapinya?!
Padahal
orang ini memprotes hadits dengan kata-kata yang sopan, tidak
sebagaimana kelancangan kaum rasionalis abad ini yang dengan kasarnya
menolak setiap hadits yang tidak masuk akalnya!!
Kita katakan kepada seluruh kaum rasionalis pendewa akal selama mereka masih mengaku muslim :
”Apa
logikanya sholat maghrib tiga raka’at, sedangkan sholat isya’ empat
raka’at, padahal keduanya sama-sama dilaksanakan pada malam hari?! Apa
logikanya perpindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram?!
Kenapa Thawaf harus ke Ka’bah?! Kenapa Thawaf harus tujuh putaran?!”
Kami
katakan tidak ada jalan bagi akal dalam hal-hal seperti ini kecuali
mengimani dan melaksanakannya dengan keimanan yang sempurna, dan
kepasrahan yang mutlak sebagaimana dalam firman Allah,
”Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. Al Ahzab : 36).
Maka
para sahabat tidak pernah sekalipun mempermasalahkan nash-nash dengan
akalnya padahal mereka manusia-manusia terbaik umat ini yang paling
sempurna akalnya.
Para
sahabat begitu sangat kepasrahannya kepada Sunnah, walaupun akal mereka
belum bisa menerima, bahkan mereka begitu keras pengingkarannya kepada
siapa saja yang menolak Sunnah.
Nash-nash
yang datang dari Rasulullah lebih agung di hati-hati mereka dari
membantahnya dengan sebab perkataan siapapun dari manusia.
F. Penutup
Pemisah
antara Ahli Sunnah dan Ahlil Bid’ah adalah dalam masalah akal: Ahlil
Bid’ah menjadikan landasan agamanya adalah akal dan mereka jadikan
Ittiba’dan atsar sebagai pengikut akal.
Adapun
Ahli Sunnah mengatakan bahwa landasan agama adalah Ittiba’ sedangkan
akal sebagai pengikutnya. Seandainya agama didasarkan pada akal, maka
sungguh para makhluk tidak butuh kepada wahyu, tidak butuh kepada para
nabi, hilanglah makna perintah dan larangan, dan setiap orang akan
mengatakan apa yang dia mau.
Jika
kita mendengar sesuatu dari perkara-perkara agama, kemudian kita bisa
memahaminya dengan akal kita, maka kita bersyukur kepada Allah atas
Taufiq-Nya. Jika akal kita belum sampai kepadanya, maka kita beriman dan
membenarkannya.
Maka
kita memohon taufiq dan keteguhan kepada Allah, semoga Allah mewafatkan
kita diatas agama Rasulullah yang lurus dengan anugerah dan
kemurahan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar